BERITAISLAM.COM. Budaya kesyirikan Suro biasa terjadi pada bulan Muharram. Orang Jawa menamakan bulan Muharram dengan istilah Suro. Nama ini diambil dari kata Asyuro yaitu tanggal 10 Muharram. Keistimewaan bulan Muharram salah satunya adalah bulan yang mengawali tahun hijriah. Namun saat bulan Muharram ini justru ada kegiatan yang menjurus terhadap kesyirikan.
Hal menarik yang akan dibahas adalah keyakinan sebagian orang jawa yang menganggap bulan Muharram atau orang Jawa menyebutnya bulan Suro sebagai bulan sial. Dalam hal ini, kepercayaan orang Jawa yang meyakini adanya kesialan pada bulan Suro. Setiap orang yang punya agenda acara, mau tidak mau harus menunda bulan depan atau dibatalkan. Orang Jawa mempercayai kalimat “Dhuwe gawe neng wulan syuro alamat ciloko. Berani jangkar melanggar, kuwalat!” yang artinya “Punya hajat di bulan suro, akan celaka. Berani melanggar,kualat!”.
Anehnya, keyakinan yang menjurus pada kesyirikan yang tentu tidak bisa diterima pada akal yang fitrah ini, tidak hanya hinggap di masyarakat pedalaman, tetapi juga merasuk pada sebagian kalangan yang berpendidikan dan mengenal teknologi, seperti kalangan akademisi (mahasiswa dan dosen) dan orang-orang terpelajar lainnya.
Sebagai umat Muslim, kita tahu betul bahwa syirik merupakan salah satu dosa yang paling besar yang tidak diampuni oleh Allah SWT jika tidak bertaubat sebelum meninggal. Yuk kita pahami budaya kesyirikan suro, sehingga kita akan terhindar dari kesyirikan tersebut. Jika kita mengabaikan, tanpa disadari kita telah melakukan kesyirikan sementara kita tidak mengetahui bahwa hal tersebut adalah kesyirikan. Lalu, bagaimana kita akan bertaubat kepada Allah SWT apabila kita merasa tidak melakukan kesyirikan, dan pada akhirnya kita wafat dengan membawa dosa syirik yang tidak diampuni oleh Allah SWT, naudzubillah min dzalik. Yuk ketahui 3 budaya kesyirikan Suro!
Budaya Kesyirikan Suro yang Pertama yaitu, Takut Sial
Keyakinan bahwa bulan Muharram merupakan bulan keramat. Budaya kesyirikan Suro yang dimaksud yaitu pada bulan Muharram atau bulan Suro dapat membawa kesialan, sehingga tidak boleh mengadakan acara seperti pernikahan atau hajatan. Keyakinan tersebut termasuk budaya kesyirikan Suro.
Syirik besar jika diyakini bisa mendatangkan kesialan dengan sendirinya, dan syirik kecil jika diyakini hanya sebagai sebab. Hal ini telah dijelaskan dalam hadis riwayat Ahmad yang artinya “Barangsiapa yang dihalangi oleh perasaan sial untuk melakukan hajatnya maka ia telah berbuat syirik.”
Hadis tersebut memperingatkan kaum Muslim untuk tidak mempercayai sial dalam melaksanakan hajat ataupun hal baik lainnya. Bahwasannya segala sesuatu yang kita lakukan dan diniatkan karena harap ridho dari Allah SWT, dan tidak bertentangan dengan syariat islam, tidak ada kesialan di dalamnya.
Budaya Kesyirikan Suro yang Kedua yaitu, Berharap Keberkahan dari Benda atau Makhluk
Budaya kesyirikan suro yang sering terjadi di kalangan orang Jawa yaitu berharap berkah dari benda ataupun makhluk. Hal tersebut tidak ada dalilnya, tentu termasuk perbuatan syirik. Seperti kisah di dalam hadis riwayat At-Tirmidzi yang artinya “Bahwa ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berangkat menuju perang Hunain, beliau melewati sebuah pohon yang dijadikan tempat menggantungkan senjata-senjata oleh kaum musyrikin (untuk meminta berkah dari pohon tersebut). Pohon tersebut dinamakan dzatu amwath, maka kaum muslimin yang baru masuk Islam berkata, ‘Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami dzatu amwath sebagaimana milik mereka’. Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda ‘Subhanallah, perkataan kalian sama dengan perkataan kaumnya Musa, demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan kaum sebelum kalian.”
Kisah yang terdapat pada hadis di atas, sebagaimana bahwa Rasulullah Saw memperingatkan kaum Muslim untuk tidak meminta ataupun berharap keberkahan pada benda seperti pohon ataupun makhluk. Hal tersebut merupakan perbuatan kaum Nabi Musa As yang berbuat kesyirikan dan dibenci oleh Allah SWT.
Budaya Kesyirikan Suro yang Ketiga yaitu, Upacara Sajen
Ketiga yaitu melakukan upacara sajen atau membuat sesajen, hal ini merupakan salah satu budaya kesyirikan suro yang sampai saat ini masih dilakukan oleh sebagian orang Jawa yang melakukan kesyirikan.
Budaya kesyirikan suro dengan melakukan upacara sajen, terdapat keyakinan orang Jawa pada upacara tersebut, yaitu:
- Meyakini setan-setan seperti penghuni kawasan di gunung atau di laut yang dianggap dapat melindungi dari bahaya.
- Meyakini upacara sajen dapat mendekatkan diri kepada setan-setan dengan memuliakan dan mempersembahkan berbagai macam bentuk sajian makanan dalam upacara sesajen.
- Menyembelih hewan yang dipersembahkan untuk makhluk ghaib.
Upacara sajen adalah syirik besar yang menyebabkan pelakunya murtad, keluar dari agama Islam. Mereka yang berharap kepada benda yang dianggap keramat ataupun makhluk seperti setan dan jin, agar dianugerahkan kebaikan dan dilindungi dari bahaya, hal ini merupakan perbuatan syirik besar. Bahkan takut kepada hal tersebut dan meyakini bahwa mereka dapat menimpakan bahaya tanpa izin Allah SWT ini adalah syirik besar yang menyebabkan murtad,naudzubillah min dzalik.
Baca juga Ketahui 5 Keutamaan Bulan Muharram
Itulah keyakinan yang dilakukan sebagian orang Jawa, keyakinan tersebut merupakan budaya yang tidak baik untuk ditiru oleh generasi berikutnya. Sebagai umat Muslim gunakan nikmat usia di dunia ini untuk bertakwa kepada Allah SWT. Kita manfaatkan bulan Muharram yang akan datang dengan meningkatkan catatan amal kebaikan sebanyak-banyaknya, mendekatkan diri kepada Allah, dan meningkatkan ketakwaan. Dengan dibuatnya artikel ini pembaca dapat menambah wawasan budaya kesyirikan suro yang harus dihilangkan, semoga bermanfaat, Barakallahufikum.