BERITAISLAM.COM-Selama ini, kita berpikir bahwa Ir. Soekarno adalah orang yang mencetuskan dasar negara Indonesia, Pancasila. Namun, ternyata ada sosok lain yang membantu sosok tersebut, yakni Abdul Kahar Muzakkir.
Abdul Kahar Muzakkir lahir di di Kota Yogyakarta pada 16 September 1907. Menurut orang yang dekat dengannya, sosok kader Muhammadiyah ini adalah seorang yang sederhana, tapi kaya akan spiritual.
Dalam Ensiklopedia Muhammadiyah 2.0 yang diterbitkan Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah (2022), Abdul Kahar Muzakkir memimpin pembentukan Panitia Perencana Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta, yang terdiri dari sejumlah tokoh terkemuka seperti Mr. Suwandi, Dr. Ahmad Ramali, KH. Mas Mansur, KH. Wahid Hasyim, KH. Farid Ma’ruf, KH. Fathurrahman Kafrawi, dan Kartosudarmo. Dedikasi pria yang kerap dipanggil Pak Kahar itu terhadap dunia pendidikan tercermin dalam upayanya mendirikan STI bersama para tokoh tersebut. Pada tanggal 8 Juli 1945, STI dibuka di Gedung Kantor Imigrasi Pusat, Gondangdia, Jakarta. Institusi ini kemudian menjadi awal dari Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta.
Selain itu, Pak Kahar juga menjadi pionir dalam mendirikan Akademi Tabligh Muhammadiyah di Yogyakarta pada tahun 1958. Akademi ini kemudian mengalami transformasi menjadi FIAD Muhammadiyah, dan akhirnya menjadi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Selain itu, ketika menjabat sebagai Direktur Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, sebuah lembaga pendidikan integrasi dengan Madrasah Mu’allimaat Muhammadiyah (institusi pendidikan khusus perempuan), beliau mengusulkan pendirian pendidikan tinggi khusus perempuan. Gagasan ini muncul dari Muktamar ‘Aisyiyah 1962, di mana Pak Kahar menyampaikan enam alasan mengapa pendidikan tinggi khusus perempuan perlu didirikan (M. Joko Susilo & Junanah, 2021).
Perhatian Abdul Kahar Muzakkir tidak hanya terfokus pada institusi pendidikan formal seperti perguruan tinggi, tetapi juga pada kegiatan di luar itu. Pada tahun 1939, Pak Kahar menjadi salah satu perwakilan Indonesia yang diundang ke Jepang untuk menghadiri Konferensi Kebudayaan Islam atau Kaikiyo Seinen Taishintai. Konferensi ini menghasilkan Barisan Hizbullah sebagai organisasi sayap dari Masyumi. Pria kelahiran Yogyakarta itu juga aktif dalam menginisiasi Pendidikan dan Latihan Barisan Hizbullah yang dilaksanakan pada 28 Februari 1945 di Cibarusa, Bogor. Sebelum itu, selama masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia, Pak Kahar juga terlibat dalam pembinaan mental melalui pendidikan khusus bagi Angkatan Perang Sabil (APS).
Beliau juga menginisiasi pendirian Ma’had Islamy, sebuah yayasan pesantren yang bertujuan untuk mengajarkan Agama Islam dan akhlak sesuai dengan ajaran yang terdapat dalam kitab-kitab salaf. Selain itu, selama masa pendidikannya di Timur Tengah dari tahun 1925 hingga 1936, Abdul Kahar Muzakkir aktif terlibat dalam pendidikan politik. Bersama dengan tokoh-tokoh intelektual lainnya, ia memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan juga kemerdekaan Palestina dengan prinsip dasar yang mengadvokasi penghapusan penjajahan di seluruh dunia.
Sang Diplomat Ulung
Pada masa menjadi mahasiswa di Universitas Darul Ulum Mesir, Pak Kahar turut bergabung dengan gerakan yang dipimpin oleh Muhammad Amin Al Husaini untuk melawan imigrasi Yahudi ke Palestina setelah keputusan politik luar negeri Inggris Raya pada 2 November 1917. Kemampuan beliau dalam berbagai bahasa asing seperti Bahasa Arab, Inggris, Belanda, Jerman, Hebrew, dan Suryani memudahkannya dalam berdiplomasi.
Sebagai respons terhadap situasi tersebut, ummat Islam menggelar Kongres Islam Dunia di Yerusalem pada Desember 1931. Kongres ini dihadiri oleh 130 delegasi dari 22 negara Muslim di seluruh dunia, atas perintah dari Mufti Agung Yerusalem, Muhammad Amin al-Husaini, dan pemimpin Komite Kekhalifahan India, Maulana Shaukat Ali. Abdul Kahar Muzakkir, yang pada saat itu masih muda, diundang karena popularitasnya yang besar di dunia Islam, terutama karena keaktifannya dalam menyuarakan semangat anti-penjajahan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia dan Malaysia di berbagai surat kabar Mesir seperti al-Ahram, al-Balagh, dan al-Hayat. Pada usia 24 tahun, Pak Kahar kemudian menjadi ketua perwakilan ummat Islam dari Asia Tenggara.
Beliau juga sempat menjabat sebagai Ketua Muktamar Alam Islam Cabang Hindia-Timur, menggantikan posisi KH. Mas Mansur. Muktamar Alam Islam merupakan sebuah forum penting yang memiliki berbagai tujuan strategis untuk kepentingan ummat Islam di seluruh dunia. Mulai dari memperkuat solidaritas dan pendidikan, mengadvokasi kemerdekaan dan keadilan, hingga mempromosikan perdamaian dan hak asasi manusia, muktamar ini memegang peranan vital dalam menghadapi berbagai tantangan yang dihadapi oleh ummat Islam.
Perumus Dasar Pancasila
Abdul Kahar Muzakkir, yang merupakan Anggota Pengurus Besar Muhammadiyah pada periode 1946-1973 dan juga anggota Panitia Sembilan, menonjol sebagai aktivis dan diplomat yang sangat terampil. Keterampilannya diakui tidak hanya di dalam negeri, terutama saat menjadi bagian dalam perumusan Pancasila, tetapi juga dalam perjuangannya di tingkat internasional, termasuk dalam upaya memerdekakan Palestina dan menghapus penjajahan di seluruh dunia.
Sebagai anggota Panitia Sembilan, yang juga merupakan seorang akademisi dan pemimpin Muhammadiyah, Abdul Kahar Muzakkir memberikan kontribusi intelektual yang penting dalam pengembangan konsep Pancasila. Ia berusaha untuk memastikan bahwa dasar negara Indonesia mencerminkan nilai-nilai moral dan agama yang kuat, sambil tetap mengakomodasi keragaman budaya dan agama di Indonesia.
Sebelum Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Abdul Kahar Muzakkir bersama Panitia Sembilan berhasil merumuskan Rancangan Pembukaan Hukum Dasar atau Preambule UUD 1945. Pembentukan Panitia Sembilan ini berlangsung setelah Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mengalami kesulitan dalam mencapai kesepakatan mengenai dasar negara Indonesia yang baru merdeka.
Seperti yang diketahui, proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara dilalui dengan berbagai tantangan, melibatkan kelompok nasionalis dan agamis. Meskipun Abdul Kahar Muzakkir tidak berhasil membujuk Ki Bagus Hadikusumo, anggota BPUPKI yang juga Ketua Muhammadiyah, untuk mempertahankan rumusan Piagam Jakarta yang menekankan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, ia tetap memainkan peran penting dalam upaya tersebut. Walaupun Ki Bagus akhirnya mengubahnya menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” atas bujukan dari Mr. Kasman Singodimedjo, yang juga kader Muhammadiyah, peran Abdul Kahar Muzakkir dalam memperjuangkan Pancasila sebagai dasar negara merupakan sumbangan penting tokoh Muhammadiyah dalam memastikan bahwa Indonesia dibangun atas prinsip-prinsip ke-Tuhanan, adil, sejahtera, bermartabat, dan inklusif bagi semua golongan.