BERITAISLAM.COM – Menjelang Hari Raya Idulfitri, ada satu tradisi yang sangat melekat di masyarakat Indonesia yaitu menukar uang baru untuk dibagikan sebagai THR (Tunjangan Hari Raya), terutama kepada anak-anak. Karena tingginya permintaan, muncullah jasa tukar uang baru, baik secara informal di pinggir jalan, atau online melalui jasa tertentu. Namun, banyak yang bertanya-tanya terkait bagaimana hukum islam memandang praktik mengambil untung dari jasa tukar uang baru ini? Apakah boleh, atau justru mengandung unsur riba? Yuk, kita bahas secara lengkap.
Apa Itu Jasa Tukar Uang Baru?
Jasa tukar uang baru biasanya dilakukan dengan sistem, misalnya seseorang ingin mendapatkan Rp100.000 dalam pecahan baru, lalu dikenakan biaya tambahan Rp10.000. Jadi, orang tersebut akan menerima Rp100.000 uang baru, tetapi harus membayar Rp110.000. Selisih Rp10.000 inilah yang dianggap sebagai keuntungan atau biaya jasa oleh penyedia layanan. Sekilas terlihat sebagai layanan biasa, tapi dalam islam, muamalah yang berkaitan dengan pertukaran uang harus mengikuti aturan yang sangat ketat.
Prinsip Pertukaran Uang dalam Islam
Dalam islam, uang termasuk dalam kategori “emas dan perak” zaman dulu, yang secara fiqih masuk dalam hukum riba fadhl dan riba nasi’ah, dua bentuk riba yang diharamkan. Rasulullah SAW bersabda:
“Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sama dan tunai. Jika jenisnya berbeda, maka jualah sesukamu asal dilakukan secara tunai.” (HR. Muslim no. 1587)
Karena uang termasuk dalam kategori emas dan perak (alat tukar zaman dahulu), maka hukum pertukaran uang dengan uang harus memiliki nilai yang sama jika mata uangnya sama, dilakukan secara tunai.
Apakah Jasa Tukar Uang Termasuk Riba?
Lalu apakah jasa tukar uang baru termasuk dalam riba? Jika kita menukar uang Rp100.000 dengan uang baru senilai Rp100.000, secara tunai dan tanpa tambahan, maka itu boleh dan sah dalam islam. Namun, jika menukar Rp100.000 menjadi uang baru, tetapi harus membayar Rp110.000, maka ini termasuk riba fadhl yaitu pertukaran barang sejenis tapi dengan nilai yang tidak sama. Kenapa disebut riba? Karena ada kelebihan nilai (tambahan) dalam pertukaran barang sejenis (uang dengan uang), padahal jenis dan nilainya harus setara.
Solusi yang Dibenarkan Ulama
Beberapa ulama memberikan solusi agar tidak jatuh ke dalam praktik riba:
- Jual-Beli Jasa (Bukan Uangnya)
Jika yang dijual adalah jasa atau waktu (misalnya, membantu antre di bank, ongkos perjalanan, dll), dan bukan nilai uangnya, maka hukumnya bisa diperbolehkan. Dalam hal ini, si penyedia jasa tidak menjual uang, tapi menjual tenaga atau pelayanan. Contoh:
Seseorang menitipkan uang Rp1 juta untuk ditukarkan ke bank. Penyedia jasa tidak mengambil selisih uang, tapi menerima upah jasa secara terpisah (misalnya, “biaya jasa Rp20.000”). Maka ini dianggap akad ijarah (sewa jasa) dan dibolehkan.
- Menjual Uang Baru dalam Bentuk Paket Plus Jasa
Beberapa ulama kontemporer membolehkan kombinasi akad (uang + jasa) selama akadnya jelas, tidak ada penipuan, dan tidak mencampur dua akad secara samar.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam beberapa forum menjelaskan bahwa menukar uang dengan nominal yang berbeda termasuk riba, kecuali jika jelas bahwa tambahan tersebut adalah jasa, bukan bagian dari uang yang ditukar.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa, mengambil untung dari jasa tukar uang baru saat lebaran bisa jadi haram jika dilakukan dengan cara yang keliru, seperti menukar uang Rp100.000 dengan uang baru senilai Rp100.000 tapi dibayar Rp110.000, tidak dilakukan secara tunai, dan menjual uang dengan harga lebih mahal. Namun, jika yang diperjualbelikan adalah jasanya secara terpisah, bukan nilai uangnya, maka praktik itu diperbolehkan dalam islam.
Baca Juga : Amalan Tergantung Niatnya: Mengapa Niat yang Kecil Bisa Menghasilkan Amal yang Besar?