BERITAISLAM.COM – Selalu tersimpan keunikan pada setiap sahabat nabi. Mush’ab bin Umair merupakan sahabat nabi yang memiliki komitmen kuat dalam mempertahankan islam.
Di samping latar belakang keluarga yang kaya raya, Mush’ab bin Umair tidak menggunakan kedudukan dan kekayaannya dalam memperjuangkan islam. Simak kisah teladan Mush’ab bin Umair hingga wafatnya dalam medan perang!
Di Balik Sosok Mush’ab bin Umair
Sebelum masuk islam, Mush’ab bin Umair berasal dari latar belakang keluarga terpandang suku Quraisy. Ia dikenal sebagai sosok yang kaya raya dan seluruh kehidupannya diliputi dengan kemewahan.
Masa mudanya dikelilingi dengan lengkapnya fasilitas yang telah disediakan keluarga. Tak hanya kaya, pemuda ini juga terkenal dengan ketampanannya di kota Mekah. Penampilannya rapi dengan aroma parfum yang semerbak.
Mush’ab bin Umair dilahirkan empat belas tahun setelah kelahiran Rasulullah. Meski lahir pada zaman jahiliyah, ibunya sangat menjaga Mush’ab dengan penjagaan terbaiknya. Ia dikenal sebagai seorang pemuda yang hidup dalam kenikmatan dunia.
Pelayanan terbaik dan kasih sayang ibunya membuat Mush’ab tidak pernah merasakan kesulitan hidup dan kekurangan nikmat. Hingga datangnya Islam, Mush’ab meninggalkan seluruh kekayaannya dan hidup dalam kesederhanaan.
Mush’ab besar dalam lingkup jahiliyah, yang mana menyembah berhala, candu dengan khamr, gemar mengikuti pesta dan nyanyian. Hingga Allah ketuk hatinya untuk menerima islam.
Allah beri cahaya di hatinya untuk dapat membedakan mana jalan yang benar serta jalan yang menyimpang. Membedakan mana ajaran Nabi dan nenek moyang. Dengan pertimbangan yang matang, Mush’ab akhirnya memeluk islam.
Masuknya Mush’ab bin Umair Dalam Agama Islam
Mush’ab termasuk golongan awal orang yang masuk islam. Sebagaimana sahabat lain, ia menyembunyikan keislamannya demi menghindari intimidasi kafir Quraisy. Dalam keadaan sulit sekalipun tidak menghalanginya untuk tetap menghadiri majelis ilmu.
Ujian Mush’ab ini bermula ketika Utsmani bin Thalhah menyaksikannya beribadah kepada Allah. Kesaksian ini pada akhirnya dilaporkan kepada Ibu Mush’ab. Mengetahui ini, ibunya kecewa dan mengurung Mush’ab di tempat mereka.
Ibunya juga mengancam untuk tidak memberi makan dan minum serta terus berdiri tanpa naungan hingga ia meninggalkan agamanya. Hari yang semakin berlalu tidak mengurangi kesusahannya justru malah menambah siksaannya.
Ibunya yang dulu sangat menyayangi Mush’ab, kini dengan tega menyiksanya hingga kulitnya babak belur, tubuhnya kurus, pakaiannya lusuh tak terurus. Ia rela melalui seluruh keadaan sulit ini demi memperjuangkan agama pilihannya yaitu islam.
Selain siksaan pada fisiknya, ia juga disiksa perasaan. Siksaan perasaan ini dengan mengamati ibu yang sangat dicintai memotong rambut panjangnya, tidak makan dan minum, bahkan rela berjemur di terik matahari demi anaknya keluar dari islam.
Semangatnya dalam menuntut ilmu menjadikannya salah satu sahabat yang paling berilmu. Dengan kecerdasan yang dimiliki, Rasulullah mengutusnya ke Madinah untuk berdakwah di sana, tepatnya di kota Yatsrib.
Saat di Madinah, Mush’ab tinggal di tempat As’ad bin Zurarah. Ia berdakwah dan mengajarkan islam termasuk pada tokoh utama di Madinah yaitu Saad bin Muadz. Dalam kurun waktu yang singkat, banyak penduduk Madinah yang masuk islam.
Hal ini menunjukkan bahwa berhasilnya kecerdasan Mush’ab dalam memahami Al-Qur’an dan sunnah. Cara penyampaian yang baik dalam berargumentasi, serta rapi dan tenang dalam menyikapi banyak hal.
Masuknya Saad bin Muadz dalam agama islam memiliki pengaruh yang begitu besar dalam kependudukan di Madinah. Wibawa Saad bin Muadz dalam menyampaikan kesaksiannya menjadikan seluruh penduduk masuk islam kecuali Ushairim.
Keberhasilan dakwah Mush’ab bin Umair di Madinah menjadikan Rasulullah memilih kota ini untuk melanjutkan dakwah berikutnya. Hingga kota ini dijuluki sebagai kota Nabi Muhammad, Madinah an-Nabawiyah.
Wafatnya Mush’ab bin Umair Dalam Perang
Dalam Perang Uhud, Mush’ab memiliki tugas sebagai pemegang bendera islam. Wafatnya Mush’ab bin Umair ini menjadi salah satu sebab turunnya ayat 144 dalam surat Ali Imran.
Ketika Mush’ab bin Umair membawa bendera perang di medan Uhud. Datanglah penunggang kuda dari pasukan musyrik yang bernama Ibnu Qumaiah al-Laitsi, yang semula mengira bahwa Mush’ab adalah Rasulullah.
Ia menebas tangan kanan Mush’ab bin Umair. Ketika terpotong tangan kanannya, ia membacakan ayat 144 dalam Ali Imran,
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya sebelumnya beberapa orang rasul.”
Kemudian tangan kirinya bergiliran ditebas. Dengan lantang Ibnu Qumaiah al-Laitsi mengatakan bahwa ia berhasil membunuh Rasulullah, padahal Mush’ab bin Umair yang terbunuh dalam sasarannya.
Ketika perang telah usai, Rasulullah mengecek sahabat-sahabatnya yang gugur syahid. Beliau menemukan jasad Mush’ab bin Umair yang begitu mengenaskan. Kemudian beliau mendoakan dengan membacakan surat Al-Ahzab ayat 23,
“Diantara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Maka diantara mereka ada yang gugur. Dan diantara mereka ada pula yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah janjinya.”
Mush’ab bin Umair wafat setelah 32 bulan hijrahnya Nabi ke Madinah. Saat itu usianya 40 tahun. Kisah ini memberikan pelajaran untuk komitmen dan tetap bertahan di jalan Allah meski beratnya ujian yang telah Allah titipkan pada setiap hamba-Nya.
Dengan mengetahui kisah ini, semoga kita bisa senantiasa berada dalam jalan kebaikan, meski banyak cara untuk setan menjerumuskan manusia dalam jalan kesesatan. Semoga artikel ini bermanfaat dan menambah semangat dalam ketaatan!