Cara memilih pemimpin dalam islam termasuk permasalahan yang dapat dimasukkan dalam hukum sosial (muamalah). Adapun dalam fiqih, prosedur politik ini menyatakan bahwa dasar daru hukum sosial adalah ibnahah, sebagaimana terdapat dalam sebuah kaidah:
الأصل في المعاملات الحل
Artinya: “Hukum asal fiqih mu’amalah adalah boleh dilakukan.” (Abu Muhammad Sholeh bin Muhammad bin Hasan Al-Asmari, Majmu’atul Fawa’id al-Bahiyyah ‘ala Mandzumatil Qawa’idil Fiqhiyyah, [Arab Saudi: Darush Shomi’i, 2000 M], halaman 75).
Jika mengikuti acauan kaidah fiqih tersebut, maka tata cara memilih pemimpin dalam islam atau segala permasalahan yang mengacu pada ranah politik bisa jadi tidak memerlukan dalin ataupun teks agama yang rinci. Meski demikian, kita tidak boleh mengesampingkan kemaslahatan umat sebagai dasar dalam memilih seorang pemimpin. Setelah wafatnya Rasulullah ada sejumlah cara memilih pemimpin yang dilakukan umat islam.
Berikut 3 Cara Memilih Pemimpin dalam Islam
- Ba’iat (Janji dan Sumpah Setia)
Mengutip dari laman Nu Online, cara memilih pemimpin dalam islam yang pertama adalah ba’iat. Kata ba’iat menurut Ibnu Khaldun yang mengacu dalam konteks politik bisa diartikan sebagai janji dan sumpah setia rakyat kepada pemimpinnya. Rakyat juga menyatakan ketundukan atas segala kebijakan yang dilakukan pemimpinnya untuk menjalankan segala urusan terkait dirinya dengan rakyat yang dipimpin. (Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, : 009 M], juz I, halaman 261).
Dalam sejarah islam proses kepemimpinan dengan model baiat pertama kali terjadi pada masa Abu Bakar Ash-Shiddiq. Proses tersebut rupanya telah melewati proses panjang di pertemuan Bani Sa’adah. Dalam proses ba’iat ini melibatkan musyawarah yang berujung pada peristiwa Umar bin Khattab menunjuk Abu Bakar As-Shiddiq sebagai Khalifah. Penunjukan tersebut lantas disetujui oleh kaum muslimin yang hadir dan satu per satu kaum muslimin memberikan ba’iatnya pada Abu Bakar As-Shiddiq sebagai bukti atas ketaatan atas perintah dan keputsan Abu Bakar kelak.(Wahbah bin Musthafa Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, [Beirut, Darul Fikr: 2017 M], juz IV, halaman 596).
Selain Abu Bakar, cara memilih pemimpin menggunakan ba’iat juga terjadi pada Ali bin Abi Thalib, dimana saat itu terjadi kekosongan kekuasaan karena terbunuhnya Utsman bin Affan. Melihat kejadian tersebut, sejumlah sahabat menghendaki Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah dan menyatakan ba’iatnya. (Jalaluddin As-Suyuthi, Tarikhul Khulafa’, [Jakarta: Darul Kutub al-Islamiyyah, 2011 M], halaman 144-145).
- Isthikaf (Penunjukan)
Menurut laman Nu Online, cara memilih pemimpin dalam islam selanjutnya adalah menggunakan metode Isthikaf. Metode ini dapat diartikan sebagai proses penunjukan pemimpin pengganti dari pemimpin yang sedang menjabat. Adapun metode Isthikaf melibatkan wewenang khusus pemimpin yang mampu mempertimbangkan kriteria-kriteria tertentu pada calon penggantinya.
Tentu saja pemilihan pemimpin ini tidak boleh dilakukan secara sembarangan, melainkan harus mempertimbangkan faktor maslahat bagi seluruh umat. Mekanisme suksesi kepemimpinan dengan metode isthikaf harus dilakukan dengan sepengetahuan ahlul halli wal ‘aqdi, agar mendapat keabsahan wilayah kekuasaan yang sah dalam syari’at. Berdasarkan catatan sejarah, metode Isthikaf pertama kalidilakukan oleh Abu Bakar Ash Shiddiq dalam menunjuk calon penggantinya yaitu Umar bin Khattab.
Tentu saja Abu Bakar tidak memilih Umar bin Khattab begitu saja, karena Abu Bakar tidak akan mengesampingkan kredibilitas dari calon pemimpin yang ia tunjuk. Meski menunjuk secara langsung, beliau sama sekali tidak meninggalkan proses musyawarah sebelum melayangkan surat keputusannya. Sebelumnya beliau telah melakukan diskusi serius dengan pembesar sahabat terkait sosok yang pantas untuk menggantikan kepemimpinannya. Berdasarkan rangkaian proses tersebut, terpilihlah Umar bin Khattab sebagai penerus tampuk kepemimpinan Amirul Mukminin dalam Islam.(Abu Hasan Al-Mawardi, Al-Hawil Kabir, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1999 M], juz VIII, halaman 339).
- Taghallub (Pemaksaan)
Cara memilih pemimpin dalam Islam selanjutnya adalah menggunakan metode Taghallub. Mengutip dari laman Nu Online, mekanisme taghallub secara terminologi dapat diartikan sebagai kekuasaan yang diperoleh melalui jalan pemaksaan atau dengan menjatuhkan pemimpin sebelumnya. Tentunya cara memilih pemimpin ini tidak didahului 2 proses sebelumnya. Meski demikian, cara taghallub ini terkadang di akhiri dengan proses baiat dari kaum muslimin.
Menurut laman Nu Online, para ahli fiqih sepakat terkait keabsahan pemimpin yang mendapat kekuasaan menggunakan metode ini. Taghallub sendiri dapat dapat dikategorikan dalam sistem (pengecualian), dimana kebolehannya hanya bisa diperoleh sebagai bentuk menghindari konflik yang lebih besar dan berpotensi menimbulkan pertumpahan darah. Krena pada dasarnya pemilihan pemimpin haruslah berdasarkan kerelaan rakyat.
Melalui mekanisme cara memilih pemimpin dalam islam, dapat diambil sebuah pelajaran bahwa Nabi Muhammad tidak meninggalkan ketentuan khusus terkait cara memilih pemimpin dalam islam. Nabi Muhammad justru memberi keleluasaan pada umat Muslim dalam menentukan Khalifah dengan cara yang lebih maslahat sesuai tuntutan waktu, zaman, dan tempat yang beraneka ragam.
Baca Juga : Pelajar Wajib Tahu! Ini 5 Keutamaan Orang yang Menuntut Ilmu yang Wajib Kalian Ketahui