Beritaislam.com- Agama Islam adalah Agama yang mengharuskan umatnya untuk berpikir. Apakah pernyataan tersebut benar, atau jangan-jangan selama ini kita berislam secara ikut-ikutan, dalam artian umat Islam hanya menerima doktrin agama secara mentah-mentah? Jadi mana yang benar?
Kenapa Agama Islam Menganjurkan untuk Berpikir?
Sebelum lebih jauh membahas tentang berislam berarti harus berpikir, ada baiknya kita perlu memahami bahwa sikap seorang pembelajar adalah bertanya. Lalu apa kaitannya dengan berpikir? Tentu saja ada, dengan kita bertanya bukankah sama halnya kita sedang menelisik sesuatu yang belum kita ketahui, atau lebih tepatnya mempertanyakan sesuatu yang barangkali bertentangan dengan diri kita.
Sebut saja ketika dua orang yang mempunyai beda pendapat mengenai minum kopi. Orang pertama beranggapan minum kopi tidak menyebabkan sakit lambung bahkan menurutnya bisa membuat sehat, sedangkan orang kedua tidak sepakat, menurutnya minum kopi dapat menyebabkan asam lambung, ia sendiri pernah merasakannya. Itu baru silang pendapat dalam hal-hal umum dalam masalah keduniawian, dan itu wajar.
Jika kita cermati pada wahyu pertama Al-Qur’an yang turun juga membicarakan agar manusia membaca. Lebih jauh kegiatan membaca tidak sekedar menerima informasi, namun ia juga adalah proses pembelajaran, dan pada satu fase akan sampai pada pemahaman tentang realitas.
Dengan kita belajar membaca, memahami, dan berpikir akan menjadikan diri kita semakin kuat dan teguh dalam beragama. Bagaimana bisa? Tentu saja bisa, sebab dengan berpikir kita semakin yakin bahwa Agama Islam adalah Agama yang berlandaskan dengan asas yang benar.
Coba saja kita perhatikan suatu kelompok atau Agama sekalipun, bila ia tidak mempunyai landasan yang kuat dan tidak didasari dengan penalaran maka ada satu saat ia akan hancur. Maka benar jika suatu kelompok atau Agama mempunyai satu dasar maupun ideologi yang menjadi dasar dalam beramal, dan dasar tersebut bisa dijalankan dengan baik tatkala diselaraskan dengan pemikiran, bukan cuma kepercayaan.
Contoh mudahnya adalah ketika kita menjumpai suatu hutan lebat, yang mana masyarakat berkeyakinan jika tempat tersebut keramat. Bila kita langsung percaya dengan masyarakat tersebut maka sama halnya kita sedang didoktrin, sebab keramat tidaknya suatu tempat tentu diperlukan penyelidikan lebih lanjut.
Namun, meskipun disebut sebagai hutan keramat dan orang dilarang untuk masuk di dalamnya, nyatanya ada hal lain yang mungkin bisa dibuktikan dengan ilmu pengetahuan. Bila kita cermati, hutan yang dikeramatkan tentu saja terbebas dari penjarahan tamak manusia, dan oleh karena itulah hutan tersebut menjadi lestari.
Meskipun mengedepankan pendekatan doktrin, namun bila hal tersebut dijelaskan dengan pendekatan ilmu pengetahuan tentu saja masyarakat semakin tercerahkan. Begitupun dalam Agama Islam, umat agama ini akan merasa teguh dan yakin keimanannya bilamana mereka percaya bukan hanya karena doktrin, melainkan karena adanya proses pergumulan ilmu pengetahuan di dalamnya.
Lihat saja sejarah peradaban Agama Islam di masa lalu, dimana selain mereka rajin dalam beribadah, para ulama kita terdahulu juga akrab dengan kegiatan olah pikir. Maka tidak mengherankan bila kita jumpai nama-nama besar ulama zaman dahulu dengan karya monumentalnya masing-masing, semua karya tersebut tentu saja bagian dari sumbangsih mereka kepada Agama Islam di kemudian hari.
Dengan adanya proses berpikir, kita jadi tahu bagaimana suatu hukum dijatuhkan dalam hal fiqih berdasarkan ijtihad (kesepakatan ulama), sehingga umat Islam bisa menjalankan Agamanya dengan baik. Dalam pandangan Islam, filsafat (proses berpikir) bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan agama. Sebaliknya, filsafat dianggap sebagai upaya manusia untuk memahami alam semesta dan tempatnya di dalamnya. Al-Qur’an sendiri mengajak manusia untuk merenungkan ciptaan Allah dan mencari ilmu pengetahuan.
Manusia Terbatas
Namun perlu disadari bersama, bahwa mau bagaimanapun juga manusia itu terbatas, termasuk juga dalam menggunakan akalnya. Ada sesuatu yang memang tidak bisa dijangkau dan dibuktikan dengan akal, dan itu menjadi bukti bahwa manusia tetaplah makhluk ciptaanNya. Dalam Islam, akal dan wahyu memiliki peran yang saling melengkapi. Akal digunakan untuk memahami dan menghayati ajaran wahyu, sedangkan wahyu memberikan petunjuk tentang hal-hal yang berada di luar jangkauan akal.